Oleh Made Ariyanta
Pendampingan ODHA selalu memiliki kisah menarik.
Kegiatan ini susah-susah gampang di setiap pendampingannya. Berapapun banyaknya orang dengan HIV AIDS (ODHA), sebanyak itulah jalan berbeda-beda untuk menjadikan seorang penyintas (survivor) bagi ODHA dalam dirinya, dan menjadikan seseorang yang berdaya dan mandiri.
Ini menjadi tugas bagi tiap ODHA tapi juga dukungan pendamping bagi dampingannya. Bahkan bisa menjadi sebuah duka mendalam buat pendampingnya. Bisa jadi buat sahabat dekatnya, pasangannya dan keluarga dekat ODHA yang bahkan bisa jadi keluarganya pun belum tentu tahu statusnya.
Saya I Made Ariyanta, oang dekat mengenal saya dengan nama Rai. Saya mulai meniti karier sebagai pendamping ODHA pada Januari 2020 ketika menjadi tenaga kontrak Dinas Kesehatan Kota Denpasar dan ditempatkan di Puseksmas I Denpasar Timur. Inilah periode di mana saat pandemi COVID-19 merajalela dan antiretroviral (ARV) mulai mengalami keterbatasan.
Masa di mana ada kejadian rejimen obat pasien diubah karena keterbatasan ARV, akses kesehatan tiap layanan yang mulai dibatasi waktu dan alat pelindung diri (APD) yang ribet di layanan kesehatan. Masa di mana banyak ODHA takut ke layanan kesehatan untuk mengakses obatnya. Masa krisis keuangan dan semua pekerjaan sangat minim.
Masa di mana masalah ODHA sudah banyak sebelum pandemi dan makin banyak setelah pandemi. Masa di mana kekerasan kepada perempuan dan anak juga terjadi dan meningkat dalam keluarga ODHA yang berimbas kata-kata perceraian atau kekerasan verbal maupun fisik. Masa di mana tiap hari, minggu atau bulan ada saja pembagian sembako yang dibagikan untuk ODHA oleh banyak orang baik hati, komunitas, donatur dan juga dari pemerintah.
Masa di mana isu HIV AIDS sepertinya tenggelam dengan isu COVID-19, “Masa Gelap HIV”.
Padahal, faktanya, isu ini tetap eksis dan merajalela serta membutuhkan penangan ekstra intens dan ketelatenan tinggi. Ada beberapa momen saya alami. Ada ODHA yang mendapatkan statusnya di “Tahun Gelap Pandemi Corona”. Ada beberapa ODHA eksis dan memulai ARV-nya. Ada pula beberapa ODHA hilang kontak dan tidak melanjutkan ARV.
Bahkan ada pula yang tidak mau memulai ARV di tahun ini. Ada pula yang memilih tidak lagi berkomunikias atau membalas pesan dan telpon agar tidak dihubungi tenaga kesehatan. Ada pula yang menunda dan tidak mau mengakses pengobatan ke layanan kesehatan pusat.
Tekanan Sana Sini
Di luar itu, ada pula isu terbaru tentang Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang juga berimbas kepada akses pengobatan murah kepada ODHA. Hiruk pikuk yang semakin amburadul dan rasanya semakin membawa tekanan di sana- sini.
Namun, di “masa gelap” inilah kami menemukan teman seperjuangan, orang baik hati, dan saudara senasib sepenanggungan yang membutuhkan uluran dan bantuan serta yang terpenting menguatkan diri sendiri. Stay strong, Bro and Sist!
Diskusi santai beberapa kali kami bincangkan dengan staf dan pimpinan Yakeba. Misalnya bagaimana memisahkan antara simpati dan empati kepada pasien, bahkan juga oleh senior buddies di sebuah RS tipe A di Denpasar. Hati-hatilah dengan simpati kepada pasien. Jaga dan kembangkan tetap sebagai empati.
Masih teringat juga pertama kali seorang senior perempuan pemimpin sebuah yayasan di Bali menyarankan saya untuk menuliskan keluh kesah dan beban yang dirasakan. Lewat tulisan ini, saya menuangkan dan menyampaikan simpati, kesedihan dan juga air mata yang seharusnya tidak ada dalam buddies untuk pasiennya, tetapi terjadi pada saya.
Untuk pertama kalinya sebagai ASN dan di masa pandemi ini, saya kehilangan dampingan. Dialah pasien pertama yang meninggal di masa tahun pertama saya sebagai Tenaga Kontrak. Dialah dampingan yang membuka luka dalam lama kembali merebak ke permukaan.
Saya mengingat kembali rekan yang hilang di tahun 2018 silam hanya karena diabet. Lalu pada 2019 lalu saya menghadiri pemakaman dua orang saudara ODHA yang dibakar (aben) berbarengan. Di hari yang sama di tempat yang berbeda dan masih terngiang kembali beberapa bulan kemudian, teman satu kampus yang meninggalkan saya karena TBC MDR dan tidak bisa saya temani.
Memori mendalam itu ternyata bangkit kembali setelah kehilangan dampingan ini. Bahkan beberapa waktu lalu pasien saya kehilangan calon bayinya, dikuret di masa kehamilan 4-5 minggu belum lama ini.
Proses menulis ini bagi saya sebagai healing. Proses di mana simpati yang saya alami bisa menjadi empati. Menguatkan motivasi saya belajar dan mendampingi pasien. Membuat saya semakin terlatih di lapangan sebagai tenaga pendampingan ODHA. Tidak ada sesal. Semakin terlatih dan makin dilatih patah hati karena pasien.
Menghadapi getirnya disakiti kehilangan pasien. Bertepuk sebelah tangan oleh pasien. Ditinggalkan tanpa alasan oleh pasien. Penuh luka karena pasien yang denial atau bisa di bilang pasien yang punya ambivalensi dan resistensi tinggi. Namun, saya akan tetap menuliskan suka duka ini.
Hasilnya Nihil
Denpasar, 9 Oktober 2020. Saya berusaha mencari alamat lewat sebuah voice note, forward message kiriman dari WhatsApp. Suara dan alamat yang tidak jelas. Hanya sebatas kode alamat berada di dekat sebuah bank swasta di Jalan Gatot Subroto. Ada gym. Masuk gang. Di ujung gang masuk ke kiri.
Saya menyusuri Jalan Gatot Sobroto Barat sampai Gatot Sobroto Tengah. Hasilnya nihil. Harapan terakhir di Gatot Subroto Timur. Dan di sanalah alamatnya. Gym ditemukan jalan masuk gang pun ditemukan. Bersyukur Tuhan Maha Baik.
Di ujung gang, saya menemukan seseorang ibu-ibu dan langsung bertanya. Ternyata keluarga pasien. Saya langsung diajak ke TKP. Kondisi pasien masih bagus bisa bercerita, duduk dan melakukan komunikasi walaupun terbatas. Diskusi dengan keluarga pun berlangsung, termasuk diskusi masalah BPJS. Pasien hanya punya satu fotokopi KTP.
Berdasarkan koordinasi dengan senior pendamping, kami sepakati esok hari akan dicek ke Puskesmas. Namun, esok hari hujan deras melanda Pulua Dewata. Pemeriksaan pun ditunda. Pada 12 Oktober pemeriksaan dilakukan ke Puskesmas. Pasien diambil darahnya dan pulang menunggu hasil laboratorium.
Sembari menunggu hasil, koordinasi dilakukan ke BPJS Kesehatan di daerah Renon. Ternyata kartu tidak aktif. Kami dianjurkan pindah ke BPJS mandiri oleh pasien sendiri, tapi tentu tidak bisa. Saran kemudian ditujukan ke Dinas Sosial, tetapi di Dinsos perlu nomor kartu keluarga (KK) pasien. Waktu sudah sore.
Esok harinya kami ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil). Ternyata yang bersangkutan, pasien itu, sudah pindah KK. Pada 2017 dia keluar provinsi karena perceraian yang sudah sah oleh suami pertama, tapi belum sah keluar kota. Kami berdiskusi kembali dengan keluarga yang menangani pasien agar bisa dipindahkan ke KK di tempat sekarang. Sedihnya BPJS belum bisa ditindaklanjuti hanya karena nomor KK pasien dan keluarga termasuk keluarga kurang mampu.
Malam harinya ada yang menghubungi saya. Kontak saya ternyata dijadikan status oleh pasien lewat Facebooknya. Saya yakin itu dengan perjuangan luar biasa. Hanya untuk membuat status nomor handphone saya di media sosial. Orang kedua menghubungi saya malam hari. Ternyata rekan sekerja pasien dan membantu akan membahas ke tempat kerja pasien.
Esok harinya manajer membantu dan mengontak kalau BPJS sudah dibayarkan. Kami berusaha cek ke BPJS terdekat, ternyata masih penangguhan dan kami sudah sampiakan ini urgen. BPJS tetap tidak aktif menunggu bulan depan. Hasil laboratorium sudah keluar. Kami berdiskusi dengan keluarga esok kami akan tetap jalan dengan memakai umum dan akan ke RS Tipe A.
Dia pun Pergi
Sore harinya, pada 14 Oktober 2020, telepon darurat menghubungi saya. Dia menyampaikan pasien tiba-tiba drop. Keluarga mengajak ke Unit Gawat Darurat (UGD) Rumah Sakit. Di sana saya menyaksikan sendiri pasien masuk ruang UGD. Namun, ketika saya kembali untuk fotocopi KTP pasien, dia sudah tidak bernyawa lagi.
Kami sudah ditinggalkan pasien. Keluarga sudah menangis.
Saya tidak tahan untuk tidak bersimpati. Saya tinggalkan UGD ke tempat suci dan menangis sejadinya di depan Altar Suci Beliau, Padmasana. Saya panjatkan doa untuk almarhumah. Di depan keluarga pasien saya tidak boleh terlihat menangis, itu pesan senior saya. Ingatlah “Empati vs Simpati”.
Pasien diurus jenazahnya. Dititipkan di kamar mayat sembari menunggu konfirmasi keluarga besar apa yang harus dilakukan selanjutnya.
Keesokan harinya, pada 15 Oktober, pasien dengan tiba-tiba dimakamkan secara mendadak di kuburan secara muslim. Terkesan mendadak karena itu hari Kamis. Jumat tidak bisa dilakukan karena akan ada sholat Jumat. Pada Kamis sore itu jenazah dimandikan dan dimakamkan secara Islam di daerah Sidakarya.
Penguburan dilakukan sesuai dengan protokol kesehatan COVID-19. Kami tetap memakai masker, menjaga jarak walau di keramaian, dan mencuci tangan setelah dan sebelum prosesi pemakaman. Juga sebelum masuk ke kawasan perkuburan di semprotkan dengan desinfektan di bilik desinfektan.
Sebagai penghormatan terakhir, saya hanya bisa ikut membantu menggotong jenazahnya dan ikut membantu penguburan. Juga ikut berdoa di samping kuburan pasien.
Selepas itu saya kira akan selesai. Ternyata tidak. Masalah harta gono gini masih merebak karena pasien meninggalkan seorang putra dan masih ada masalah keuangan. Warisan motor, kalung emas dan sejumlah uang pasien. Juga masalah utang piutang dan lain-lain.
Dalam rentang belum genap seminggu, pada 9 – 14 Oktober 2020, saya mendampingi pasien, pasien sangat cepat meningglkan saya. Saya seperti menjadi pendamping yang tidak bekerja dengan baik. Hasil laboratorium pun belum dibuka ke pasien. Ini mejadi pelajaran tersendiri buat saya. Pasien mengaku kepada keluarganya bahwa dia sakit tifus, jadi saya tidak membuka status pasien. Saya tetap merahasiakan dan akan menjadi rahasia saya seumur hidup.
Terasa menyakitkan memang. Fakta yang sesungguhnya harus saya rahasiakan agar pasien aman dalam perjalanan pengurusan kematiannya.
Terima kasih dukungannya untuk semua orang, keluarga, perusahaan, kenalan pasien, sahabat, dan juga senior yang saya ganggu dalam kerjanya ketika sedang siaran radio kala itu. Maafkan saya belum manjadi alat yang baik di tangan-Mu. Terima kasih sahabat terbaik saya, Tuhan, yang ada di hati saya, hati semua orang, dan semua makhluk. Dia yang juga selalu mendampingi saya dan selalu melangkah bersama saya. Saya akan selalu memerlukan-Mu, Tuhanku.
Tenang di sana saudara perempuan yang baru saya kenal. Kamu sudah tenang dan damai dalam pelukan Tuhan. Sayang dan Kasih Tuhan telah mengangkat sakitmu. Tuhan dan kami di sini sangat sayang kepadamu. Saya di sini bersedih secukupnya.
OM tryambakam yajamahe
Sugandhim pushtivardhanam
Urvaarukamiva bandhanaan
Mrityormuksheeya mamritaat
Om svargantu Pitaro devah
Svargantu pitara ganam
Svargantu pitarah sarvaya
Namah svada
Catatan: tulisan ini merupakan juara pertama kategori umum dalam lomba menulis HIV AIDS Yayasan Kesehatan Bali (Yakeba) periode Oktober 2020 dengan tema Suka Duka Penanggulangan HIV AIDS di Tengah Pandemi COVID-19.