Oleh Mega Artini (nama samaran)
Segala upaya dilakukan Pemerintah Indonesia untuk meminimalisir penyebaran pandemi ini. Salah satunya dengan menerapkan protokol kesehatan pencegahan COVID-19 yaitu penggunaan masker, rajin mencuci tangan, jaga jarak (social distancing & physical distancing), pembatasan sosial berskala besar, penutupan tempat umum dan lain sebagainya.
Beberapa perusahaan dan kantor instansi pemerintah juga menganjurkan pegawainya bekerja dari rumah untuk menyelesaikan pekerjaan selama pandemi ini.
Beberapa tempat umum bisa ditutup, tetapi layanan kesehatan harus tetap dibuka untuk melayani masyarakat. Layanan kesehatan menerapkan protokol kesehatan ketat dengan membatasi pasien datang dan membuka layanan setengah hari. Hal ini karena layanan kesehatan merupakan tempat rawan penularan COVID-19.
Banyak pasien yang tidak mengetahui dirinya sudah terpapar virus ini atau tidak. Mau tidak mau, di layanan kesehatan terjadi kontak bertemu langsung dengan orang yang tidak dikenal walaupun sudah melakukan protokol kesehatan yang ketat.
Hal ini juga terjadi pada tempat layanan kesehatan yang memberikan akses pengobatan kepada Orang dengan HIV (ODHIV). Layanan buka setengah hari untuk melayani pasien ODHIV yang datang untuk mengakses ARV sehingga petugas kesehatan harus bergegas melayani pengambilan obat dan membatasi waktu apabila ada pasien yang ingin konseling tentang masalah kesehatannya.
Berbeda seperti dahulu sebelum pandemi di mana pasien banyak bertanya dan bercerita tentang masalah kesehatan yang dialaminya selama menjalani terapi ARV. Ditambah lagi persoalan ARV yang persediaannya menipis sehingga pasien harus datang kembali beberapa hari lagi ke layanan karena pasien diberikan stok obat untuk beberapa hari saja.
Akses Susah
Hal ini sesuai pengalaman saya sendiri sebagai istri dari Orang dengan HIV (ODHIV). Suatu hari saya ikut mendampingi suami saya ke layanan mengambil ARV di Rumah Sakit Wangaya, Denpasar. Saat itu menunjukkan pukul 07.50 WITA di Klinik Merpati Wangaya, layanan belum buka tetapi sudah ada beberapa orang yang mengantre untuk mengakses layanan yang memang layanan buka mulai pukul 08.00 WITA setiap hari kerja.
Selagi mengantre, saya sempat mengobrol dengan salah satu pasien yang rata-rata ternyata mereka dari luar Denpasar. Salah satunya dengan ibu yang berasal dari Karangasem.
“Sudah dapat obat, Bu?” tanya saya.
“Belum, Dik. Masih diracik. Karena ada beberapa obat yang kosong, semoga hari ini saya mendapat stok untuk satu bulan karena minggu lalu saya hanya mendapatkan stok untuk lima hari,” kata ibu itu sambil menarik nafas panjang.
Dalam hati saya juga berharap semoga suami saya mendapatkan stok obat satu bulan. Saya juga berpikir bagaimana perjuangan ibu itu dengan menempuh jarak jauh untuk mendapatkan ARV. Belum lagi apabila tidak mendapat stok satu bulan, dia harus kembali lagi ke layanan.
Bukan hanya dengan ibu ini saja saya ngobrol. Beberapa waktu yang lalu pun saya sempat ngobrol dengan seseorang dari luar Denpasar yang mengeluhkan hal sama. Dari semua yang saya dengar, saya jadi ikut sedih. Mengapa di saat pandemi seperti ini ARV juga ikut langka? Padahal sudah ada ada anjuran yang dikeluarkan oleh pemerintah bahwa pasien bisa mengambil stok obat ARV beberapa bulan untuk meminimalisir kegiatan di luar rumah.
Seharusnya pemerintah bisa menyikapi hal tentang langkanya ARV di layanan agar tidak terjadi kelangkaan apalagi sampai kehabisan stok ARV selama pandemi. [b]
Catatan: Tulisan ini merupakan juara pertama kategori komunitas dalam lomba menulis HIV AIDS Yayasan Kesehatan Bali (Yakeba) periode November 2020 dengan tema Suka Duka Penanggulangan HIV AIDS di Tengah Pandemi COVID-19.